Peristiwa
runtuhnya gedung WTC di Amerika pada 11/9/2001 menandai adanya sebuah masa yang
dihantui dengan isu terorisme. Isu tersebut masuk didalm praktik pendidikan
secara tak terhindarkan. Masa itu telah memberikan banyak kebijakan-kebijakan
yang terkait dengan terorisme. Selama itu pula praktik kultural di Indonesia
tidak bisa delepaskan dari pemikiran tentang terorisme. Pada 2010 sevbuah
organisasi nirlaba Lazuardi Birru mengadakan simposium “Memutuskan Mata Rantai
Radikalisme dan Terorisme” di Jakarta. Hasilnya, pemutusan mata rantai itu
tidak bisa dilakukan dengan satu pendekatan. Dirumuskan, “pemecahan
permasalahan radikalisme dan terorisme memerlukan pendekatan yang komprehensif
dan lintas sektoral. Bukan represid dari aparat kemanan saja, melainkan harus
dilakukan dengan menggunakan cara-cara yang persuasif dan humanis dari seluruh
elemen bangsa. Sinergi para tokoh masyarakat, tokoh pendidikan, tokoh agama,
organisasi sosial kemasyarakatan, organisasi keagamaan, lembaga pebdidikan,
lemabaga swadaya masyarakat (LSM), media masa dan masyarakat umum dlm setiap
rencana dan solusi sangat diperlukan (2010: 25-26).
Semua jadi
percaya bahwa pemecahan masalah radikalisme di indonesi tidak bisa secara
sebagian. Pernyataan itu tidak bisa dibaca bahwa radikalisme adalah masalah
multidimensiu, sebuah krisis sosial, budaya, ekonomi dan politik secara
berturut-turut. Dipercayai pula bahwa penyebab adanya gerakan terorisme adalah
radikalisme. Pemahaman secara kognitif dijadikan sebagai dasar pemikiran karena
konstruksi kognitif dari radikalisme itu berawal dari agen-agen ilmu
pengetahuan yang berkiprah dalam proses pendidikan. Dalam pendidikan dasar dan
menegah akan dijumpai guru-guru sedangkan pada pendidikan tinggi akan dijumpai
dosen atau akademis. Mereka adalah agen pengetahuan yang paling dekat dengan
konstruksi rasionalitas, ideologi, hingga pengetahuan sehari-hari.[1]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar