Selasa, 27 Desember 2016

Filsafat Hukum


Isi dari buku filsafat hukum ini manusia dan pengetahuan, filsafat,hukum dan filsafat hukum, sejarah perkembangan filsafat, aliran-aliran dalam filsafat hukum, hukum dan moral, kerangka ilmiah etika profesi, hukum dan keadilan, hukum dan kebenaran.
Manusia sebagai makhluk Tuhan teridiri atas dua unsur pokok, yaitu jasad dan roh. Jasad dimaknai sebagai elemen kasar(fisik) dan elemen roh adalah unsur halus (nonfisik/gaib). Tubuh sebagai elemen jasad sesungguhnya tidak berarti apa-apa tanpa eksisnya roh didalamnya. Dengan roh, manusia yang teridiri atas kolektivitas jutaan sel tumbuh dan berkembang menurut ketentuan yang telah ditetapkan Tuhan dalam bentuk jasad maupun pikiran. Roh dipandang sebagai sumber kepribadian manusia yang akan mengantarkan manusia pada proses pemahaman hakikat manusia.
Manusia sebagai makhluk Tuhan pada hakikatnya memiliki wawasan luas tentang jagat. Wawasan tersebut dapat diperoleh baik secara ilahiah maupun melalui upaya manusia yang dihimpun  dan dikembangkan selama berabad-abad. Dalam proses pencarian tersebut, kecenderungan spiritual dan luhur manusia terus bekerja dalam menemukan esensi kebenaran-kebenaran yang tentunya akan direfleksikan dalam proses dialog jasad dan roh.
Memahami keotonoman manusia sebagai makhluk Tuhan, pada konstruksi filsafat perenial mengenai kecenderungan manusia. Kecenderungan manusia pada hakikatnya teridiri atas dua hal, yaitu objek yang bersifat terbatas mampu membuktikan bahwa dalam dirinya sendiri ia bebas dari keterbatasannya.
Manusia pada prinsipnya adalah makhluk lemah. Dalam kapasitas manusia sebagai makhluk yang lemah dengan segala dependansinya kepada Tuhan, Tuhan memberi ruang bagi manusia untuk mengembangkan diri dalam konsep otonomi, independensi dan kreativitas sebagai manusia dalam mempertahankan diri dan mengembangkan hidup dan kehidupannya. Disisi lain, dengan segala otonomi yang dimiliki oleh manusia, maka manusia melakukan proses doa dan puji kepada Tuhan sebagai wujud penghambaannya (dependensi) kepada Tuhan pencitanya (mutual interst).
Manusia sebagai makhluk berpikir. Aristoteles mengatakan bahwa manusia adalah binatang yang memiliki rasional (animal rationale), yang membedakannya dengan binatang. Manusia dipandang sebagai satu-satunya binatang yang sepenuhnya hidup, sementara binatang yang lain tak memiliki perasaan dan tak tahu suka dan duka. Sehingga, binatang-binatang lain dipandang hanyalah mesin-mesin setengah hidup.
Tuhan sebagai penetapan fitrah kodrati manusia, telah memerintahkan manusia untuk menggunakan potensi berpikirnya sebagaimana firman Allah dengan kata-kata "afala tatafakarun" (apakah kamu tidak berpikir), "afala ta'qilun" (apakah kamu tidak berakal), "tandzur" (maka perhatikanlah),dsb. Firman-firman Allah tersebut yang dikemukakan dalam Al-Qur'an, pada hakikatnya dipandang sebagai stimulus yang menyebabkan manusia berpikir.
Pengetahuan yang diperoleh melalui indra. Pengetahuan yang diperoleh melalui indra melibatkan organ-organ tubuh yang akan menerjemahkan respons indra dalam bentuk pengetahuan. Pengetahuan yang diperoleh melalui indra dapat dibedakan pada pengetahuan yang bersifat internal dan eksternal. Yang bersifat eksternal berhubungan dengan respons organ-organ tubuh dalam menerima kesan yang ada yang sangat terbatas. Dalam hal ini, berimplikasi pada rangsangan yang ditransformasikan keotak menimbulkan determinasi daya indra dan aktualitasi yang kemudian menghasilkan suatu citra indriawi. Dan yang bersifat internal pada dasarnya berperan pada proses penciptaan persepsi.



[1] Aburaera Sukarno, Muhadar, Maskun. 2013. Filsafat Hukum Teori dan Praktik. Jakarta: Kencana Prenada Media Group

Tidak ada komentar:

Posting Komentar