Isi
dari buku filsafat hukum ini manusia dan pengetahuan, filsafat,hukum dan
filsafat hukum, sejarah perkembangan filsafat, aliran-aliran dalam filsafat
hukum, hukum dan moral, kerangka ilmiah etika profesi, hukum dan keadilan,
hukum dan kebenaran.
Manusia
sebagai makhluk Tuhan teridiri atas dua unsur pokok, yaitu jasad dan roh. Jasad
dimaknai sebagai elemen kasar(fisik) dan elemen roh adalah unsur halus
(nonfisik/gaib). Tubuh sebagai elemen jasad sesungguhnya tidak berarti apa-apa
tanpa eksisnya roh didalamnya. Dengan roh, manusia yang teridiri atas kolektivitas
jutaan sel tumbuh dan berkembang menurut ketentuan yang telah ditetapkan Tuhan
dalam bentuk jasad maupun pikiran. Roh dipandang sebagai sumber kepribadian
manusia yang akan mengantarkan manusia pada proses pemahaman hakikat manusia.
Manusia
sebagai makhluk Tuhan pada hakikatnya memiliki wawasan luas tentang jagat.
Wawasan tersebut dapat diperoleh baik secara ilahiah maupun melalui upaya
manusia yang dihimpun dan dikembangkan
selama berabad-abad. Dalam proses pencarian tersebut, kecenderungan spiritual
dan luhur manusia terus bekerja dalam menemukan esensi kebenaran-kebenaran yang
tentunya akan direfleksikan dalam proses dialog jasad dan roh.
Memahami
keotonoman manusia sebagai makhluk Tuhan, pada konstruksi filsafat perenial
mengenai kecenderungan manusia. Kecenderungan manusia pada hakikatnya teridiri
atas dua hal, yaitu objek yang bersifat terbatas mampu membuktikan bahwa dalam
dirinya sendiri ia bebas dari keterbatasannya.
Manusia
pada prinsipnya adalah makhluk lemah. Dalam kapasitas manusia sebagai makhluk yang
lemah dengan segala dependansinya kepada Tuhan, Tuhan memberi ruang bagi
manusia untuk mengembangkan diri dalam konsep otonomi, independensi dan kreativitas
sebagai manusia dalam mempertahankan diri dan mengembangkan hidup dan
kehidupannya. Disisi lain, dengan segala otonomi yang dimiliki oleh manusia,
maka manusia melakukan proses doa dan puji kepada Tuhan sebagai wujud penghambaannya
(dependensi) kepada Tuhan pencitanya (mutual interst).
Manusia
sebagai makhluk berpikir. Aristoteles mengatakan bahwa manusia adalah binatang
yang memiliki rasional (animal rationale), yang membedakannya dengan binatang.
Manusia dipandang sebagai satu-satunya binatang yang sepenuhnya hidup, sementara
binatang yang lain tak memiliki perasaan dan tak tahu suka dan duka. Sehingga,
binatang-binatang lain dipandang hanyalah mesin-mesin setengah hidup.
Tuhan
sebagai penetapan fitrah kodrati manusia, telah memerintahkan manusia untuk
menggunakan potensi berpikirnya sebagaimana firman Allah dengan kata-kata
"afala tatafakarun" (apakah kamu tidak berpikir), "afala
ta'qilun" (apakah kamu tidak berakal), "tandzur" (maka
perhatikanlah),dsb. Firman-firman Allah tersebut yang dikemukakan dalam
Al-Qur'an, pada hakikatnya dipandang sebagai stimulus yang menyebabkan manusia berpikir.
Pengetahuan
yang diperoleh melalui indra. Pengetahuan yang diperoleh melalui indra
melibatkan organ-organ tubuh yang akan menerjemahkan respons indra dalam bentuk
pengetahuan. Pengetahuan yang diperoleh melalui indra dapat dibedakan pada
pengetahuan yang bersifat internal dan eksternal. Yang bersifat eksternal
berhubungan dengan respons organ-organ tubuh dalam menerima kesan yang ada yang
sangat terbatas. Dalam hal ini, berimplikasi pada rangsangan yang ditransformasikan
keotak menimbulkan determinasi daya indra dan aktualitasi yang kemudian
menghasilkan suatu citra indriawi. Dan yang bersifat internal pada dasarnya berperan
pada proses penciptaan persepsi.
[1]
Aburaera
Sukarno, Muhadar, Maskun. 2013. Filsafat Hukum
Teori dan Praktik. Jakarta: Kencana Prenada Media Group
Tidak ada komentar:
Posting Komentar