Tingkah
laku ekonomi yang tidak menunjang, apalagi yang menghalangi terwujudnya
keadilan sosial dikutuk dengan keras, bahkan agaknya tidak ada kutukan Kitab Suci
yang lebih keras dari pada kutukan kepada para pelaku ekonomi yang tidak adil.
Selain dapat dirasakan dalam antara lain, ekspresi Surah Al-Takatsur dan
Al-Humazah suatu kutukan kepada sikap ekonomi yang tidak prosukif dan egois
dengan jelas sekali dinyatakan dalam Surah At-Taubah, ayat 34-35: "wahai
orang-orang yang beriman, sesungguhnya banyak dari kalangan para rahib dan
pertapa itu benar-benar memakan harta manusia dengan cara yang tidak benar dan
menyimpang dari jalan Allah. Adapun mereka yang menimpun emas dan perak dan
tidak menggunakannya dijalan Allah, maka peringatkanlah mereka itu dengan
adanya siksa yang pedih. Yaitu saat kerika harta (emas dan perak) dipanaskan
dalam api neraka, kemudian disetrikakan kepada kening, lambung dan punggung
mereka, (lalu dikatakan kepada mereka): 'Inilah yang kamu tumpuk untuk
kepentingan diri kamu sendiri (didunia)
maka sekarang rasakanlah (akibat) harta yang dulu kamu tumpuk
itu."
Firman
itu dikutip karena ia, dengan secara dramatis, melukiskan tema
anti-ketidakadilan ekonomi yang ada dalam islam. Semangat ini sebetulnya
berjalan sejajar dan konsisten dengan semangat yang lebih umum, yaitu keadilan
berdasarkan persamaan manusia (egalitarianisme). Bahkan dalam agama-agama
monoteis, egalitarianisme itu, dibandingkan dengan agama-agama lain, bersifat
radikal. Dampak semangat itu tidak hanya terasa dalam bidang yang menjadi konsekuensi
langsungnya yaitu ekonomi, tapi juga dibidang budaya, umumnya dann seni khususnya.
Islam demikian pula agama Yahudi dan
Kristen klasik tapi juga Zoroastrianisme (majusi, khususnya Mazdaisme), dikenal
dengan sikapnya yang antigambar (ikonoklasme), terutama anti-gambar
representasional yang bersifat simbolis dan emblematis apalagi yang magis
(yaitu setiap gambar yang mengungkapkan suatu mitologi kepada alam). Salah satu
ide dasar sikap itu ialah bahwa magisme menghalangi manusia dari mencapai
keadilan berdasarkan persamaan dan berdasarkan kenyataan-kenyataan yang
terawasi (terkontrol).
Kita
mengetahui bahwa penyelesaian yang diberikan oleh peradaban Islam kepada semangat
ikoniklastis ialah pengembangan seni kaligrafi dan arabesk. Kaligrafi
mengekspresikan paham ketuhanan yang abstrak (dalam arti, Tuhan yang tidak bisa
dilukiskan) dengan kebanyakan, dicurahkan untuk mengekspresikan kekuatan wahyu
itu. Sedangkan arabesk merupakan pengembangan rasa keindahan yang bebas dari mitos
alam dan dilakukan dengan mengembangkan pola-pola abstrak yang diambil dari
pengolahan motif bunga-bungaan, daun-daunan dan poligon-poligon.
Akan
tetapi, ada titik rawan (crucial) disini. Yaitu bahwa seni abstrak justru
berkembang dalam kalangan penduduk kota (urban), karena lingkungan hidup mereka
yang lebih bebas dari mitos alam (tidak seperti para petani). Suatu pandangan
sosiologis bahwa Islam adalah gejala kota, tidaklah terlalu meleset yang juga
bisa dilihat dari sudut gaya seninya. Namun seni, tentu saja hanyalah salah
satu ekspresi dari keseluruhan semangat Islam. Dan semgat itu juga diekspresikan
dalam bidang lain. Dibidang ekonomi, ekspresi alam sebagai gejala kota ialah
merkantilisme, semangat dagang. Ini kemudian ditunjang oleh posisi geografis
negeri-negeri Timur Tengah dan kondisinya. (Dan makkah adalah
"miniatur" posisi dan kondisi itu yang pada zaman Nabi merupakan sebuah
kota dagang yang amat makmur).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar