Selasa, 27 Desember 2016

Keadilan Sosial dalam Islam


Tingkah laku ekonomi yang tidak menunjang, apalagi yang menghalangi terwujudnya keadilan sosial dikutuk dengan keras, bahkan agaknya tidak ada kutukan Kitab Suci yang lebih keras dari pada kutukan kepada para pelaku ekonomi yang tidak adil. Selain dapat dirasakan dalam antara lain, ekspresi Surah Al-Takatsur dan Al-Humazah suatu kutukan kepada sikap ekonomi yang tidak prosukif dan egois dengan jelas sekali dinyatakan dalam Surah At-Taubah, ayat 34-35: "wahai orang-orang yang beriman, sesungguhnya banyak dari kalangan para rahib dan pertapa itu benar-benar memakan harta manusia dengan cara yang tidak benar dan menyimpang dari jalan Allah. Adapun mereka yang menimpun emas dan perak dan tidak menggunakannya dijalan Allah, maka peringatkanlah mereka itu dengan adanya siksa yang pedih. Yaitu saat kerika harta (emas dan perak) dipanaskan dalam api neraka, kemudian disetrikakan kepada kening, lambung dan punggung mereka, (lalu dikatakan kepada mereka): 'Inilah yang kamu tumpuk untuk kepentingan diri kamu sendiri  (didunia) maka sekarang rasakanlah (akibat) harta yang dulu kamu tumpuk itu."
Firman itu dikutip karena ia, dengan secara dramatis, melukiskan tema anti-ketidakadilan ekonomi yang ada dalam islam. Semangat ini sebetulnya berjalan sejajar dan konsisten dengan semangat yang lebih umum, yaitu keadilan berdasarkan persamaan manusia (egalitarianisme). Bahkan dalam agama-agama monoteis, egalitarianisme itu, dibandingkan dengan agama-agama lain, bersifat radikal. Dampak semangat itu tidak hanya terasa dalam bidang yang menjadi konsekuensi langsungnya yaitu ekonomi, tapi juga dibidang budaya, umumnya dann seni khususnya. Islam demikian pula agama  Yahudi dan Kristen klasik tapi juga Zoroastrianisme (majusi, khususnya Mazdaisme), dikenal dengan sikapnya yang antigambar (ikonoklasme), terutama anti-gambar representasional yang bersifat simbolis dan emblematis apalagi yang magis (yaitu setiap gambar yang mengungkapkan suatu mitologi kepada alam). Salah satu ide dasar sikap itu ialah bahwa magisme menghalangi manusia dari mencapai keadilan berdasarkan persamaan dan berdasarkan kenyataan-kenyataan yang terawasi (terkontrol).
Kita mengetahui bahwa penyelesaian yang diberikan oleh peradaban Islam kepada semangat ikoniklastis ialah pengembangan seni kaligrafi dan arabesk. Kaligrafi mengekspresikan paham ketuhanan yang abstrak (dalam arti, Tuhan yang tidak bisa dilukiskan) dengan kebanyakan, dicurahkan untuk mengekspresikan kekuatan wahyu itu. Sedangkan arabesk merupakan pengembangan rasa keindahan yang bebas dari mitos alam dan dilakukan dengan mengembangkan pola-pola abstrak yang diambil dari pengolahan motif bunga-bungaan, daun-daunan dan poligon-poligon.
Akan tetapi, ada titik rawan (crucial) disini. Yaitu bahwa seni abstrak justru berkembang dalam kalangan penduduk kota (urban), karena lingkungan hidup mereka yang lebih bebas dari mitos alam (tidak seperti para petani). Suatu pandangan sosiologis bahwa Islam adalah gejala kota, tidaklah terlalu meleset yang juga bisa dilihat dari sudut gaya seninya. Namun seni, tentu saja hanyalah salah satu ekspresi dari keseluruhan semangat Islam. Dan semgat itu juga diekspresikan dalam bidang lain. Dibidang ekonomi, ekspresi alam sebagai gejala kota ialah merkantilisme, semangat dagang. Ini kemudian ditunjang oleh posisi geografis negeri-negeri Timur Tengah dan kondisinya. (Dan makkah adalah "miniatur" posisi dan kondisi itu yang pada zaman Nabi merupakan sebuah kota dagang yang amat makmur).






[1] Madjid Nurcholish. 2013. Islam Kemodernan dan Keindonesia. Bandung: PT. Mizan Pustaka

Tidak ada komentar:

Posting Komentar