Berbicara
tentang peranan agama dalam kehidupan modern, biasanya dihubungkan dengan
konotasi modernitas yang mengalami atay malah menderita ekses. Ekses itu adalah
akibat dominasi ilmu dan teknologi yang menurut Ashadu Siregar, hanya mampu
melahirkan teknokrat-teknokrat tanpa perasaan suatu pernyataan yang bersifat
karikatural. Kepentingan serta urusan ilmu dan teknologi ialah objektivitas.
Dengan sendirinya objektivisme itu akan sering berbenturan dengan subjektivisme,
sehingga sebagaimana halnya dengan mesin yang tanpa perasaan, mengingkari
perseorangan (depersonalization) berarti mengurangi arti kemanusiaan (dehumanization)
dan mengakibatkan ketidaksanggupan seseorang mengenali dirinya sendiri dan
makna hidupnya atau mengalami apa yang dinamakan keterasingan alienation. Ilmu
dann teknologi bersangkutan dengan bidang yang sedemikian rupa sifat dan
nilainya sehingga disebut saja profane atau duniawi. Dan keprofanan berada
dalam posisi yang antagonistid dengan kesakralan atau rasa kesucian tersebut.
Sebuah
magnet tak mungkin ada tanpa kedua unsurnya yang antagonistis berupa
kutub-kutub utara dan selatannya. Demikian pula kehidupan yang wajar, ia
memerlukan keseimbangan antara aspek profan dan aspek sakral. Maka tidak hersn
bahwa dalam masyarakat modern dalam konotasi tadi masalah mencari dan menemukan
makna hidup yang ultimate, jadi berarti sakral, menjadi semakin serius dan
akut. Indikasi-indikasi kearah itu dapat disebutkan dua macam yang datang nya
dari dua jurusan yang berlawanan: negatif-positif. Yang negatif berupa gejala
bahwa penyakit jiwa lebih banyak oada masyarakat modern daripada masyarakat
yang lebih sederhana (untuk Indonesia telah banyak dikota-kota besar daripada
didesa-desa). Yang positif berupa gejala semakin tertariknya orang-orang modern
kepada pemikiran-pemikiran spekulatif (di Amerika lsbih banyak orang membaca Al-Kitab
sekarsng ini daripada dulu meskipun pengunjung gereja menurun).
Tetapi
yang lebih relevan dengan kita, bangsa Indonesia, mungkin bukan dalam konotasi
tersebut. Bangsa Indonesia sekarang sedang membangun. Dalam pembangunan itu
yang diutamakan ialah peningkatan kemampuan ekonomi. Hal itu dinyatakan dalam
banyak sekali ukuran atau norma, antara lain yang terpenting ialah kenaikan GNP.
Sekarang ini GNP perkapita kita ialah 80 dolar Amerika. Sampai dengan tingkat
GNP per kapita berapakah kita akan menganggap kehidupan ekonomi sudah cukup makmur?
Sedangkan dihadapan kita terdapat contoh-contoh GNP perkapita yang jauh lebih
tinggi umpamanya Amerika Serikat rengan 4.000 dolarnya. Mengejar dan mencapai
tingkat kemakmuran menurut ukuran Amerika adalah tidak mungkin. Pertama , karena
selain jaraknya sudah terlampau jauh, juga rate of growth kita
jauh dibawah rate of growth Amerika.
Kedua, dan ini lebih penting kekayaan
alam yang ada tidak mungkin menunjang tingkat kehidupan ala Amerika untuk
keseluruhan manusia. Jadi, dalam perspektif global, sekalipun Indonesia tidak termasuk
negara maju dengan masyarakat modern, ia menghadapi persoalan modern. Dalam
hubungannya dengan agama ialah, apakah ia masih mampu berperan dalam memberikan
alternatif cara hidup yang tidak terlampau terikat pada ukuran-ukuran materiil.
Altermatif itu harus mampu dikemukakan didepan (before hand), artinya tidak
setelah kita terlanjur hancur karena kegagalan dalam usaha mencapai kemakmuran
materiil ala Amerika. Hal itu berarti, dengan perkataan lain, apakah agama
sanggup menjadi sumber inspirasi dan konsep bagi suatu pola pembangunan yang
dapat dijadikan alternatif bagi yangbada sekarang? (Sepertinya, banyak kritik
dilontarkan bahwa pola pembangunan sekarang terlalu berorientasi kepada usaha
kenaikan GNP, meskipun masih dapat dibela sebagai sesuatu ynag tak mungkin
dielakkan mengingat urgensi nasional kita).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar