Selasa, 27 Desember 2016

Agama dan Kehidupan Modern


Berbicara tentang peranan agama dalam kehidupan modern, biasanya dihubungkan dengan konotasi modernitas yang mengalami atay malah menderita ekses. Ekses itu adalah akibat dominasi ilmu dan teknologi yang menurut Ashadu Siregar, hanya mampu melahirkan teknokrat-teknokrat tanpa perasaan suatu pernyataan yang bersifat karikatural. Kepentingan serta urusan ilmu dan teknologi ialah objektivitas. Dengan sendirinya objektivisme itu akan sering berbenturan dengan subjektivisme, sehingga sebagaimana halnya dengan mesin yang tanpa perasaan, mengingkari perseorangan (depersonalization) berarti mengurangi arti kemanusiaan (dehumanization) dan mengakibatkan ketidaksanggupan seseorang mengenali dirinya sendiri dan makna hidupnya atau mengalami apa yang dinamakan keterasingan alienation. Ilmu dann teknologi bersangkutan dengan bidang yang sedemikian rupa sifat dan nilainya sehingga disebut saja profane atau duniawi. Dan keprofanan berada dalam posisi yang antagonistid dengan kesakralan atau rasa kesucian tersebut.
Sebuah magnet tak mungkin ada tanpa kedua unsurnya yang antagonistis berupa kutub-kutub utara dan selatannya. Demikian pula kehidupan yang wajar, ia memerlukan keseimbangan antara aspek profan dan aspek sakral. Maka tidak hersn bahwa dalam masyarakat modern dalam konotasi tadi masalah mencari dan menemukan makna hidup yang ultimate, jadi berarti sakral, menjadi semakin serius dan akut. Indikasi-indikasi kearah itu dapat disebutkan dua macam yang datang nya dari dua jurusan yang berlawanan: negatif-positif. Yang negatif berupa gejala bahwa penyakit jiwa lebih banyak oada masyarakat modern daripada masyarakat yang lebih sederhana (untuk Indonesia telah banyak dikota-kota besar daripada didesa-desa). Yang positif berupa gejala semakin tertariknya orang-orang modern kepada pemikiran-pemikiran spekulatif (di Amerika lsbih banyak orang membaca Al-Kitab sekarsng ini daripada dulu meskipun pengunjung gereja menurun).
Tetapi yang lebih relevan dengan kita, bangsa Indonesia, mungkin bukan dalam konotasi tersebut. Bangsa Indonesia sekarang sedang membangun. Dalam pembangunan itu yang diutamakan ialah peningkatan kemampuan ekonomi. Hal itu dinyatakan dalam banyak sekali ukuran atau norma, antara lain yang terpenting ialah kenaikan GNP. Sekarang ini GNP perkapita kita ialah 80 dolar Amerika. Sampai dengan tingkat GNP per kapita berapakah kita akan menganggap kehidupan ekonomi sudah cukup makmur? Sedangkan dihadapan kita terdapat contoh-contoh GNP perkapita yang jauh lebih tinggi umpamanya Amerika Serikat rengan 4.000 dolarnya. Mengejar dan mencapai tingkat kemakmuran menurut ukuran Amerika adalah tidak mungkin. Pertama , karena selain jaraknya sudah terlampau jauh, juga rate of growth kita jauh dibawah rate of growth Amerika. Kedua, dan ini lebih penting  kekayaan alam yang ada tidak mungkin menunjang tingkat kehidupan ala Amerika untuk keseluruhan manusia. Jadi, dalam perspektif global, sekalipun Indonesia tidak termasuk negara maju dengan masyarakat modern, ia menghadapi persoalan modern. Dalam hubungannya dengan agama ialah, apakah ia masih mampu berperan dalam memberikan alternatif cara hidup yang tidak terlampau terikat pada ukuran-ukuran materiil. Altermatif itu harus mampu dikemukakan didepan (before hand), artinya tidak setelah kita terlanjur hancur karena kegagalan dalam usaha mencapai kemakmuran materiil ala Amerika. Hal itu berarti, dengan perkataan lain, apakah agama sanggup menjadi sumber inspirasi dan konsep bagi suatu pola pembangunan yang dapat dijadikan alternatif bagi yangbada sekarang? (Sepertinya, banyak kritik dilontarkan bahwa pola pembangunan sekarang terlalu berorientasi kepada usaha kenaikan GNP, meskipun masih dapat dibela sebagai sesuatu ynag tak mungkin dielakkan mengingat urgensi nasional kita).





[1] Madjid Nurcholish. 2013. Islam Kemodernan dan Keindonesia. Bandung: PT. Mizan Pustaka

Tidak ada komentar:

Posting Komentar